BABY WRAP Gendongan Kangguru
Gendongan bayi yang OK pnya... Nyaman buat ibu dan bayi-nya ^_^
Rabu, 17 November 2010
Ternyata Menggendong Mampu Mencerdaskan Anak
Ketika Mbah Surip mengatakan, bahwa lagu hitsnya “Tak Gendong” itu mengandung pesan filosofis tentang prinsip kegotongroyongan dan tolong-menolong, sesungguhnya Mbah Surip patut diacungi dua jempol atas pemikirannya yang fundamental dan sosialistis itu.
Dan tepat pula ketika di dalam lagu tersebut, kakek berambut gimbal itu menyinggung soal sebuah sensasi rasa ketika seseorang sedang digendong: enak dong! mantap toh! Begitu kata Mbah Surip. Nah, artikel pendek ini pun mencoba mengurai sedikit tentang arti penting perkara “gendong-menggendong” itu, terutama dikaitkan aktifitas menggendong anak, baik bayi maupun balita.
Ketika aktifitas menggendong kita terapkan pada bayi dan balita kita, maka sesungguhnya aktifitas itu tak sekedar menciptakan sensasi rasa pada anak yang digendong seperti disebutkan Mbah Surip dalam lagunya itu. Namun lebih jauh dari itu.
Sejauh ini, aktifitas menggendong bayi merupakan salah satu seni merawat anak yang boleh jadi keberadaannya setua peradaban manusia. Meskipun belum ada studi yang khusus mengupas tentang sejarah menggendong anak dari masa ke masa, namun sepertinya manusia-manusia penghuni pertama jagad ini telah menggendong keturunanan mereka dalam proses perawatan dan pengasuhannya sehari-hari. Dan tampaknya, menggendong anak memang sejenis insting paling purba dari orang tua dalam konteks pengasuhan terhadap anaknya.
Hasrat orang tua untuk menggendong anaknya, sepertinya merupakan sebuah “desain” khusus dari Tuhan. Artinya, ia sebentuk naluri alamiah pemberian Tuhan yang melekat, yang akan dijadikan sebagai salah satu modal dasar bagi manusia untuk mengaktualisasikan perasaan kasih sayang kepada sang buah hatinya. Jika toh memang demikian, menjadi sangat sulit dipahami jika ternyata ada orang tua mengaku sayang pada anaknya, namun jarang, atau malah tak pernah sekalipun menggendongnya.
Sejalan dengan pemikiran Mbah Surip, sebenarnya setiap anak sangat menikmati saat-saaat digendong. Mendapati diri saat digendong itu laksana duduk di atas awan. Mungkin bagi bayi dan balita, sensasi digendong itu mengingatkannya pada kondisi “tanpa gravitasi”—mengambang sempurna dalam “lautan” air ketuban—ketika dirinya masih berupa janin di dalam rahim sang ibu,.
Bukan hanya bayi saja, anak yang agak lebih besar seringkali pula minta digendong. Dalam intensitas permintaan yang jauh lebih rendah, adakalanya salah satu pihak dari pasangan dewasa juga minta digendong. Sehingga jangan lantas para suami merasa aneh atau riskan, jika tiba-tiba istrinya dengan manja meminta untuk digendong.
Bagi anak-anak yang agak sedikit sudah dewasa, biasanya mereka menyukai digendong di pundak (gendong belakang). Namun seiring bertambahnya usia anak, dan seiring makin banyak aktivitas yang mampu dilakukannya secara mandiri, biasanya seorang anak merasa malu jika digendong.
Menggendong anak bisa dilakukan dengan beragam cara atau gaya. Namun semua cara itu mengarah pada satu tujuan: melekatkan bayi atau balita ke dalam buaian orang tua maupun para pengasuhnya yang lain.
Cara menggendong paling otentik adalah dengan "tangan kosong". Menggendong dengan alat bantu, semisal kain, muncul belakangan. Seiring perkembangan modern, insting orang tua untuk menggendong bayinya pun akhirnya "dilirik" secara cerdik oleh pihak industri garmen dan mode. Mereka kini menyediakan beragam jenis alat gendongan, dengan beragam variasi, gaya bahkan fungsi khususnya.
Lantas, apa kaitan antara digendong dengan kecerdasan anak? Atau dengan kata lain, bagaimana penjelasannya, bahwa menggendong anak itu menjadi salah satu bagian dari upaya melejitkan potensi kecerdasan anak? Berikut ini setidaknya beberapa penjelasan untuk hal itu:
Dengan digendong, akan membuat bayi semakin jarang menangis. Dengan begitu, akan semakin banyak waktu dan tenaga digunakan oleh dirinya untuk proses tumbuh-kembangnya lebih lanjut. Sehingga proses pembelajaran terhadap diirinya pun akan jauh semakin optimal.
Dengan digendong, secara neurologis membuat bayi berada pada posisi yang memungkinkannya bergerak, dan merespon dekapan yang diterimanya. Misalnya dengan memegang tangan atau pundak penggendongnya.
Jika respon-respon itu terakumulasi, akan menjadi bekal bagi perkembangan kecerdasan kinestetiknya lebih lanjut. (Tentang soal terkait aktifitas gerak (kinestetik) pada anak, lihat artikel yang saya publish sebelumnya berjudul “Mengapa Bergerak itu Mencerdaskan Bagi Bayi dan Balita?)
Dengan digendong, membuat bayi semakin banyak berinteraksi dengan lingkungannya. Ini berarti pula akan semakin kaya rangsangan yang "tertangkap" oleh sistem inderanya. Sehingga koneksi-koneksi baru dalam jaringan neuronnya pun lebih cepat terbentuk, ketimbang bayi yang lebih banyak digeletakkan di tempat tidur oleh orang tuanya, yang membuat sang bayi lebih banyak melotot hampa ke arah atap.
Dan bayi yang digendong, akan jauh lebih memiliki kepekaan penglihatan (visual), selain kepekaan sistem pendengarannya (auditif) akan lebih baik pula ketimbang si “anak kasur”.
Dengan digendong, bayi akan belajar terlibat pada aktifitas yang dilakukan pengasuhnya. Bayi pun akan peka pada apa yang dikatakan pengasuhnya saat mengendongnya. Semua pengalaman itu laksana himpunan cuplikan film-film pendek yang turut dibintanginya. "Film-film" itu disimpan di dalam memori otaknya.
Pada kesempatan lain ia akan mencoba "menyetel" ulang film-film itu, lagi dan lagi. Hingga akhirnya pemahamannya menjadi lebih baik tentang segala hal yang telah disimpan di dalam otaknya.
Dengan digendong, bayi punya kebebasan memilih tentang apa yang ingin maupun tak ingin dilihatnya. Bila ada yang ingin dilihatnya, perhatiannya pun akan terfokus ke sana. Dan bila ia tak ingin melihat, dengan mudah ia pun memalingkan pandangannya. Kemampuannya memilih fokus perhatian, merupakan salah satu landasan bagi proses belajarnya yang efektif. Dan secara tak langsung, bisa jadi hal ini adalah sebentuk upaya penanaman “pelajaran demokrasi” sedini mungkin bagi sang buah hati.
Jadi ilmu menggendong merupakan sejenis “intuitive parenting” yang sesuai (compatible) dengan kebutuhan keluarga modern untuk menciptakan generasi baru yang cerdas di kemudian hari. Ia merupakan warisan masa lalu yang takkan pernah lekang oleh jaman. Bahkan sesungguhnya dalam aktifitas menggendong anak, terkandung sebuah visi keluarga yang jauh ke depan.
Nah, mengingat besarnya manfaat menggendong anak, maka janganlah orang tua ragu untuk melakukannya. Gendonglah anak anda setiap ada kesempatan, dengan segenap curahan cinta dan kasih sayang Anda terhadapnya. Namun untuk bagi bayi baru, Anda tetap harus hati-hati melakukannya. Dan selamat mengendong-ria para pasangan muda sahabat Komunitas Bintang Kecil.[]
* oleh Nanang Djamaludin (Pegiat di Komunitas Bintang Kecil)
Dan tepat pula ketika di dalam lagu tersebut, kakek berambut gimbal itu menyinggung soal sebuah sensasi rasa ketika seseorang sedang digendong: enak dong! mantap toh! Begitu kata Mbah Surip. Nah, artikel pendek ini pun mencoba mengurai sedikit tentang arti penting perkara “gendong-menggendong” itu, terutama dikaitkan aktifitas menggendong anak, baik bayi maupun balita.
Ketika aktifitas menggendong kita terapkan pada bayi dan balita kita, maka sesungguhnya aktifitas itu tak sekedar menciptakan sensasi rasa pada anak yang digendong seperti disebutkan Mbah Surip dalam lagunya itu. Namun lebih jauh dari itu.
Sejauh ini, aktifitas menggendong bayi merupakan salah satu seni merawat anak yang boleh jadi keberadaannya setua peradaban manusia. Meskipun belum ada studi yang khusus mengupas tentang sejarah menggendong anak dari masa ke masa, namun sepertinya manusia-manusia penghuni pertama jagad ini telah menggendong keturunanan mereka dalam proses perawatan dan pengasuhannya sehari-hari. Dan tampaknya, menggendong anak memang sejenis insting paling purba dari orang tua dalam konteks pengasuhan terhadap anaknya.
Hasrat orang tua untuk menggendong anaknya, sepertinya merupakan sebuah “desain” khusus dari Tuhan. Artinya, ia sebentuk naluri alamiah pemberian Tuhan yang melekat, yang akan dijadikan sebagai salah satu modal dasar bagi manusia untuk mengaktualisasikan perasaan kasih sayang kepada sang buah hatinya. Jika toh memang demikian, menjadi sangat sulit dipahami jika ternyata ada orang tua mengaku sayang pada anaknya, namun jarang, atau malah tak pernah sekalipun menggendongnya.
Sejalan dengan pemikiran Mbah Surip, sebenarnya setiap anak sangat menikmati saat-saaat digendong. Mendapati diri saat digendong itu laksana duduk di atas awan. Mungkin bagi bayi dan balita, sensasi digendong itu mengingatkannya pada kondisi “tanpa gravitasi”—mengambang sempurna dalam “lautan” air ketuban—ketika dirinya masih berupa janin di dalam rahim sang ibu,.
Bukan hanya bayi saja, anak yang agak lebih besar seringkali pula minta digendong. Dalam intensitas permintaan yang jauh lebih rendah, adakalanya salah satu pihak dari pasangan dewasa juga minta digendong. Sehingga jangan lantas para suami merasa aneh atau riskan, jika tiba-tiba istrinya dengan manja meminta untuk digendong.
Bagi anak-anak yang agak sedikit sudah dewasa, biasanya mereka menyukai digendong di pundak (gendong belakang). Namun seiring bertambahnya usia anak, dan seiring makin banyak aktivitas yang mampu dilakukannya secara mandiri, biasanya seorang anak merasa malu jika digendong.
Menggendong anak bisa dilakukan dengan beragam cara atau gaya. Namun semua cara itu mengarah pada satu tujuan: melekatkan bayi atau balita ke dalam buaian orang tua maupun para pengasuhnya yang lain.
Cara menggendong paling otentik adalah dengan "tangan kosong". Menggendong dengan alat bantu, semisal kain, muncul belakangan. Seiring perkembangan modern, insting orang tua untuk menggendong bayinya pun akhirnya "dilirik" secara cerdik oleh pihak industri garmen dan mode. Mereka kini menyediakan beragam jenis alat gendongan, dengan beragam variasi, gaya bahkan fungsi khususnya.
Lantas, apa kaitan antara digendong dengan kecerdasan anak? Atau dengan kata lain, bagaimana penjelasannya, bahwa menggendong anak itu menjadi salah satu bagian dari upaya melejitkan potensi kecerdasan anak? Berikut ini setidaknya beberapa penjelasan untuk hal itu:
Jika respon-respon itu terakumulasi, akan menjadi bekal bagi perkembangan kecerdasan kinestetiknya lebih lanjut. (Tentang soal terkait aktifitas gerak (kinestetik) pada anak, lihat artikel yang saya publish sebelumnya berjudul “Mengapa Bergerak itu Mencerdaskan Bagi Bayi dan Balita?)
Dan bayi yang digendong, akan jauh lebih memiliki kepekaan penglihatan (visual), selain kepekaan sistem pendengarannya (auditif) akan lebih baik pula ketimbang si “anak kasur”.
Pada kesempatan lain ia akan mencoba "menyetel" ulang film-film itu, lagi dan lagi. Hingga akhirnya pemahamannya menjadi lebih baik tentang segala hal yang telah disimpan di dalam otaknya.
Jadi ilmu menggendong merupakan sejenis “intuitive parenting” yang sesuai (compatible) dengan kebutuhan keluarga modern untuk menciptakan generasi baru yang cerdas di kemudian hari. Ia merupakan warisan masa lalu yang takkan pernah lekang oleh jaman. Bahkan sesungguhnya dalam aktifitas menggendong anak, terkandung sebuah visi keluarga yang jauh ke depan.
Nah, mengingat besarnya manfaat menggendong anak, maka janganlah orang tua ragu untuk melakukannya. Gendonglah anak anda setiap ada kesempatan, dengan segenap curahan cinta dan kasih sayang Anda terhadapnya. Namun untuk bagi bayi baru, Anda tetap harus hati-hati melakukannya. Dan selamat mengendong-ria para pasangan muda sahabat Komunitas Bintang Kecil.[]
* oleh Nanang Djamaludin (Pegiat di Komunitas Bintang Kecil)
Langganan:
Postingan (Atom)